KOMPAS.com – Pemanfatan teknologi nuklir dinilai bisa menjadi opsi sumber energi yang potensial bagi Indonesia.
Hal itu mengingat Indonesia memiliki sumber bahan bakunya sehingga energi yang dihasilkan bisa lebih murah.
“Kita memiliki cukup banyak bahan bakunya, energi ini juga akan menjadi murah, sehingga secara keseluruhan dampak ekonomi terhadap industri kita akan cukup baik,” kata Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Ridwan Djamaluddin dalam sebuah webinar, Jumat (10/9/2021).
Berdasarkan data Badan Tenaga Nuklir Nasional, bahan baku nuklir berupa sumber daya uranium yang dimiliki Indonesia mencapai 81.090 ton dan thorium 140.411 ton.
Lantas, mungkinkah Indonesia mampu memanfaatkan potensi itu?
Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, tak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak mengembangkan nuklir sebagai sumber energi.
Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Daftarkan email
Selain ramah lingkungan, Indonesia juga memiliki sumber mineral dan uranium yang menjadi sumber daya utama reaktor nuklir.
“Kalau resources itu tidak digunakan secara optimal, Indonesia menanggung opportunity cost,” kata Fahmy saat dihubungi Kompas.com, Senin (13/9/2021).
Keamanan reaktor nuklir
Menurut Fahmy, teknologi terbaru reaktor nuklir kini telah mengikis kekhawatiran akan terjadinya kecelakaan, bahkan bisa mencapai zero accident.
Namun, belum ada pemerintahan yang memiliki political will untuk melakukan itu setelah Presiden Habibie.
Ia pun berharap agar Presiden Joko Widodo berkomitmen untuk mengembangkan nuklir sebagai pembangkit listrik, dengan mengubah peraturan yang menempatkan nuklir sebagai alternatif terakhir, menjadi energi prioritas.
Fahmy menuturkan, kurangnya pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) kemungkinan disebabkan oleh adanya resistensi dari kalangan bisnis yang selama ini memasok energi primer pembangkit listrik.
“Saya menduga ada resistensi juga dari kalangan bisnis yang selama ini memasok energi primer untuk pembangkit listrik. Pasalnya, energi nuklir akan menjadi pesaing utama,” jelas dia.
Ketergantungan energi fosil
Ia menjelaskan, energi fosil pada bauran energi pembangkit listrik hingga akhir 2020 masih sebesar 87,85 persen, sebanyak 57,22 persen di antaranya didominasi oleh batu bara.
Sementara itu, Energi Baru Terbarukan (EBT) hanya 12,16 persen, jauh dari target yang ditetapkan pada 2025 sebesar 23 persen dan 31 persen pada 2050.
Menurutnya, PLN sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan EBT dalam bauran energi sesuai target yang ditetapkan, seperti penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Namun, kapasitas pembangkit listrik tetap EBT masih kecil.
“Tanpa ada upaya terobosan, PLN diproyeksikan tidak akan dapat mencapai 100 persen EBT yang dipersyaratkan untuk mencapai zero carbon pada 2050,” ujarnya.
Tiga syarat utama
Agar pengembangan PLTN berjalan lancar, Fahmy menyebut ada tiga syarat yang dibutuhkan.
Pertama, komitmen yang kuat dari kepala negara untuk merealisasikan PLTN. Minimal, komitmen itu serupa dengan pembangunan jalan tol di Indonesia.
Kedua, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Energi Nasional (DEN) harus merealisasikan komitmen Joko Widodo dengan mengubah Kebijakan Energi Nasional (KEN).
“KEN yang selama ini menempatkan energi nuklir sebagai alternatif terakhhir, harus diubah menjadikan energi nuklir sebagai energi prioritas,” kata Fahmy.
Ketiga, melakukan kampanye publik untuk meningkatkan tingkat penerimaan masyarakat terhadap penggunaan PLTN.
Selama ini, tingkat penerimaan masyarakat terhadap PLTN masih sangat rendah. Salah satunya disebabkan oleh trauma kecelakaan reaktor nuklir di beberapa negara.
#Mungkinkah #Indonesia #Mengembangkan #Energi #Nuklir #Halaman
Klik disini untuk lihat artikel asli