Amnesty Internasional Indonesia mengkritik lambannya pengusutan tragedi Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) 1996 yang belum terungkap hingga saat ini. Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mempertanyakan siapa dalang penyerangan dan siapa yang harus bertanggung jawab, serta mengapa tragedi ini belum diusut tuntas. Menurutnya, penyelesaian kasus ini penting agar peristiwa serupa tidak terulang dan negara dapat menegakkan keadilan secara efektif. Pemerintah di era awal reformasi hanya mengusut kasus ini dengan hukum pidana biasa, tidak menggunakan peradilan HAM. Aparat yang diperiksa juga hanya pelaksana lapangan, bukan pejabat berwenang yang terlibat dalam penyerbuan kantor PDI. Dalam fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa penegakan pelanggaran HAM dari negara masih belum memadai. Maka, negara tetap harus mengusut tuntas kasus ini untuk mencegah intervensi politik dengan cara kekerasan.
– Keseriusan pengusutan tragedi Kudatuli 1996 dipertanyakan oleh Amnesty Internasional Indonesia
– Belum diketahui siapa dalang penyerangan dan siapa yang harus bertanggung jawab
– Mengapa tragedi ini belum diusut tuntas?
– Negara telah memiliki sistem hukum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat
– Pemerintah di era awal reformasi hanya mengusut kasus ini melalui hukum pidana biasa, bukan peradilan HAM
– Aparat yang diperiksa hanya pelaksana lapangan, bukan pejabat berwenang yang terlibat dalam penyerbuan kantor PDI
– Penegakan pelanggaran HAM dari negara masih belum memadai
– Negara harus mengusut tuntas kasus ini untuk mencegah intervensi politik dengan cara kekerasan
**Ringkasan:** Amnesty Internasional Indonesia mempertanyakan keseriusan pengusutan tragedi Kudatuli 1996 yang belum diusut tuntas. Belum diketahui siapa dalang penyerangan dan siapa yang harus bertanggung jawab. Hingga sekarang, tragedi ini belum terungkap. Pemerintah di era awal reformasi hanya mengusut kasus ini dengan hukum pidana biasa dan aparat yang diperiksa hanya pelaksana lapangan. Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa penegakan pelanggaran HAM dari negara belum memadai. Negara harus mengusut tuntas kasus ini untuk mencegah intervensi politik dengan cara kekerasan.
JAKARTA, KOMENPINTAR.com – Amnesty Internasional Indonesia mempertanyakan keseriusan pengusutan tragedi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli (Kudatuli) 1996 yang hingga kini belum diusut tuntas.
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan, sampai saat ini masih jadi pertanyaan siapa dalang penyerangan dan siapa yang harus bertanggungjawab.
“Dan tidak kalah penting, mengapa tragedi ini belum juga diusut tuntas?” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (27/7/2023).
“Padahal sejak awal reformasi, negara telah memiliki sistem hukum untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat seperti penyerangan 27 Juli, kalau tidak diungkap, maka peristiwa serupa bisa terulang,” ucapnya.
Usman mengatakan, pemerintah di era awal reformasi baru sebatas mengusut kasus itu melalui hukum pidana biasa, bukan peradilan HAM.
Selain itu, aparat yang diperiksa hanyalah pelaksana lapangan, bukan pejabat berwenang yang terlibat dalam rantai komando penyerbuan kantor PDI itu.
“Itu pun berujung dengan vonis bebas,” ucapnya.
Fakta-fakta tersebut, kata Usman, menunjukan upaya penegakan pelanggara HAM dari negara belum mampu menegakkan keadilan.
“Kasus ini masih jauh dari selesai, maka negara tetap harus mengusut tuntas kasus tersebut demi mencegah berulangnya intervensi politik partai dengan cara kekerasan,” kata dia.
Peristiwa Kudatuli
Peristiwa Penyerangan 27 Juli 1996 ditandai dengan penyerbuan kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta.
Saat itu, kantor DPP PDI yang dikendalikan oleh pendukung Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI berdasarkan hasil Kongres Surabaya 1993, diserbu oleh kelompok pendukung Soerjadi, Ketua Umum PDI berdasarkan hasil Kongres Medan 1996 yang didukung ratusan aparat kepolisian.
Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM yang diterbitkan pada 31 Agustus dan 12 Oktober 1996, tercatat lima orang tewas, 149 cedera dari baik warga sipil dan aparat keamanan serta sebanyak 136 orang ditahan.
Komnas HAM juga menilai terjadi enam bentuk pelanggaran HAM dari kasus itu, yaitu pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut.
Selain itu ada juga pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi, dan pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia, juga pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.
Sepanjang tahun 2002–2003, pemerintah menggelar pengadilan koneksitas untuk Kasus Kerusuhan 27 Juli. Namun pengadilan ini hanya menghadirkan para terdakwa yang disebut bertanggungjawab di tingkat lapangan.
Pengadilan saat itu hanya mampu membuktikan seorang warga sipil bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke kantor PDI.
Ia dihukum dua bulan 10 hari. Sementara itu, dua perwira militer yang disidang, yaitu Budi Purnama dan Suharto, divonis bebas.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Komenpintar.com. Kunjungi Instagram kami “Komenpintar.com News Update”, caranya klik link https://www.instagram.com/komen.pintar, kemudian join.
#Tahun #Kudatuli #Amnesty #Internasional #Mengapa #Belum #Juga #Diusut #Tuntas
Klik disini untuk lihat sumber berita