Masih ingat, kan, sama kalimat “aku ingin tinggal di Meikarta” di jingle apartemen Meikarta sekitar 6 tahun yang lalu? Kata-kata tersebut begitu membius para konsumen karena Meikarta menyuguhkan “kota impian” bagi mereka.
Gimana konsumen nggak tertarik, Meikarta diklaim memiliki harga unit yang murah berbekal fasilitas mewah. Akan tetapi, para pembeli mendapatkan fakta lain di baliknya. Ya, isapan jempol belaka karena pembangunannya terbengkalai.
Saat ini, proyek apartemen yang dibangun PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), anak perusahaan PT Lippo Cikarang Tbk. (LPCK) mendapat sorotan dari konsumennya karena mereka sama sekali belum menerima unit yang sudah dibeli sejak 2017 lalu.
Pembangunan Meikarta sendiri menuai kontroversi mulai dari proses perizinan serta tata ruang proyek yang tidak transparan, gugatan vendor kepada Lippo Group, kisruh blok 61006, kasus suap pengurusan izin yang membuat KPK memutuskan sejumlah tersangka termasuk Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin, hingga ratusan konsumen menuntut pengembalian dana mereka.
Sebelumnya PT Lippo Cikarang pernah mengklaim progres pengembangan Meikarta District 1, 2, dan 3 serta 28 tower sudah masuk tahap finalisasi pengembangan. Selain itu, 1.800 unit dikabarkan telah diserahkan kepada konsumen. Kenyataannya? Nihil, Juragan.
Meikarta vs Pembeli: Mimpi Indah Berujung Mimpi Buruk?
Semakin hari, semakin bergejolak. Rasanya kalimat tersebut cocok ditujukan kepada megaproyek Meikarta yang penuh polemik. Kali ini, pihak Meikarta berhadapan langsung dengan konsumennya sendiri.
Mereka menuntut pengembalian uang yang sudah dibayarkan karena belum menerima unit apartemen yang terletak di Cikarang, Kabupaten Bekasi tersebut. Beberapa konsumen juga mengaku belum pernah melihat progres pengembangannya.
Karena merasa tertipu dan dipermainkan pihak pengembang, para konsuemn mengadu derita mereka ke berbagai pihak untuk mendapatkan dukungan.
Melansir Harian Kompas, sekitar 100 orang yang terhimpun dalam Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM) menggelar unjuk rasa di depan Gedung MPR/DPR/DPD RI di Senayan, pada Senin (5/12/2022) lalu. Mereka meminta bantuan para wakil rakyat untuk membantu penyelesaian gagalnya serah terima unit apartemen dan menuntut uang mereka kembali.
Aep Mulyana, selaku Ketua Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta, menjelaskan PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) semestinya melakukan penyerahan unit pada pertengahan 2019 sampai 2020 untuk unit distrik 1, 2, dan 3.
“Setelah ditetapkan PKPU pada 20 Desember 2020 lalu, dinyatakan mulai membangun setelah itu dia akan serah terima 55 bulan kemudian. Artinya 2024 nanti. Nah nanti bisa refund pada 6 bulan setelah 55 bulan. Tapi kalau di tengah-tengah dipailitkan gimana? Kalau nama perusahaannya diubah gimana?” tutur Aep, dilansir CNBC Indonesia, Selasa (6/12/2022).

Bukan cuma di DPR, konsumen Meikarta juga berdemonstrasi di sekitar kantor Bank Nobu Plaza Semanggi, Jakarta (19/12/2022). Diketahui, Bank Nobu terus melakukan penagihan cicilan dan menggencet konsumen Meikarta sebagai debitur.
Sebelumnya PKPKM telah mengadukan persoalannya ke DPR pada 23 Juni 2022 dan ke Presiden Joko Widodo pada 27 Juni 2022.
Ngadu ke DPR udah, ngadu ke Presiden juga udah. Harusnya aman dan langsam, dong?
Menuntut untuk Dituntut Balik
Usai berkeluh kesah kepada DPR dan berunjuk rasa di kantor Bank Nobu, babak baru dari drama tiada akhir antara Meikarta dengan konsumennya membawa kejutan. Gimana tidak terkejut, Aep Mulyana bersama 17 konsumen Meikarta digugat Rp56 miliar oleh PT Mahkota Sentosa Utama (MSU).
Anak usaha dari LPCK itu menggugat dengan alasan klasik. Tidak lain tidak bukan, pencemaran nama baik yang dianggap merugikan perusahaan.
Loh, kok bisa? Jadi, gugatan ini muncul ketika Aep bersama 17 konsumen lainnya menuntut pengembalian dana atas kerugian yang mereka terima. Dalam gugatan dengan nomor perkara pengadilan 1194/Pdt.G/2022/PN Jkt.Brt yang terdaftar sejak 26 Desember 2022 lalu, PT MSU meminta majelis hakim untuk mengabulkan permohonan sita jaminan serta menyita segala harta kekayaan Aep dan kelompoknya, yang digunakan dalam perjanjian jual beli properti di proyek apartemen Meikarta.
Selain itu, konsumen tergugat juga diminta menyetop dan tidak mengulangi segala tindakan, aksi, serta pernyataan-pernyataan yang memfitnah dan mencemarkan nama baik perusahaan. Lalu, tergugat juga diminta untuk menyampaikan permohonan maaf secara terbuka di tiga harian koran nasional sebesar setengah halaman, yaitu di harian Bisnis Indonesia, Kompas dan Suara Pembaruan.
“Menghukum para tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara ini. Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono),” dikutip Kompas.com dari laporan gugatan di PN Jakarta Barat, Selasa (24/1/2023).
Pencemaran Nama Baik: Siapa Ingkar Janji?
Kuasa Hukum PKPKM, Rudi Siahaan menyatakan, pihaknya tidak pernah merasa melakukan pencemaran nama baik terhadap pengembang proyek Meikarta “kota impian” tersebut.
“Ya kalau mereka bilang mencemarkan nama baik ya itu hak mereka, sekarang mereka buktikan dong gitu aja. Ya, kan kita bisa menilai sendiri, yang dicemarkan nama baiknya, nama baik yang mana yg dicemarkan, yang wanprestasi siapa? Yang ingkar janji siapa?” ungkap Rudi dilansir Kompas.com, Rabu (25/1/2023).
Rudi justru menantang pihak pelapor untuk menunjukkan semua bukti nyata apabila yang dilakukan Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta telah mencemarkan nama baik mereka selama ini.
Hmm, masih menarik untuk diikuti perkembangan aksi “menuntut untuk dituntut” dari polemik Meikarta ini. Niatnya, sih, mau nagih janji tapi jadi berujung kasus hukum yakni pencemaran nama baik. Menurut kamu gimana? Punya nyali buat tinggal di Meikarta kota impian?