Kenapa netizen pada julid suka ngerujak? Ya itulah masalah kita bersama. Bahkan juara terkasar se Asia Pasifik. Tipe begitu ada di kelompok mana-mana. Pemilik akun tidak ada daya mengontrol jempol follower. Yang ada adalah konsisten mengedukasi agar selalu sopan penuh adab.
— Ridwan Kamil (@ridwankamil) January 4, 2023
Bukan tanpa alasan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil berceloteh di akun twitter pribadinya tersebut dan mengekspresikan kekecewaannya kepada YTH netizen Indonesia. Usut punya usut, kekecewaan Ridwan Kamil bermula saat Masjid Raya Al Jabbar mendapat sorotan tajam dari masyarakat digital.
Pembangunan masjid yang terletak di Kawasan Gedebage, Bandung tersebut diketahui menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar 1 triliun rupiah. Sontak hal tersebut mendatangkan rasa penasaran warganet yang semakin menjadi-jadi.
Salah satu pengguna Instagram @oustandjing mengungkapkan bahwa tidak seharusnya masjid megah tersebut dibangun dengan biaya APBD yang bersumber dari pajak daerah. Ada perbedaan antara pembayaran pajak dan wakaf pembangunan masjid. Pajak seharusnya dapat dipakai untuk membangun sarana sosial seperti transportasi publik.
Komentar warganet itu pun langsung direspons Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil lewat akun Instagram resminya @ridwankamil, Rabu (4/1/2023). Dalam unggahan tangkapan layarnya tersebut, RK juga menjelaskan alasan pembangunan Masjid Raya Al Jabbar menggunakan dana APBD.
Orang nomor 1 di Jawa Barat itu juga menegaskan, penggunaan dana negara untuk pembangunan rumah ibadah sudah disetujui pihak eksekutif dan legislatif dengan bermusyawarah dalam forum demokrasi.
“‘Niat saya bayar pajak bukan wakaf’, betul, Kewajiban anda adalah membayar pajak, namun hukum positif mengatakan penggunaannya adalah wilayah kewenangan penyelenggara negara,” kata RK dalam akun Instagramnya, dikutip Rabu (4/1).
Ridwan Kamil juga menyebutkan beberapa contoh rumah ibadah didanai dengan bantuan negara. Pada 1961 lalu, Masjid Istiqlal dibiayai sebesar Rp7 miliar melalui APBN. Pembangunan GKI Jemaat Eben Haezer di Papua juga menggunakan APBD. Begitu pula ketika digunakan untuk pembangunan Pura Besakih dan beberapa kawasan ibadah pura di Bali.
Respons Para Pengamat Terkait Penggunaan APBD
Tidak hanya warganet yang berpendapat mengenai pembangunan masjid megah di Bandung yang menggunakan dana dari APBD. Beberapa pengamat juga mempertanyakan hal tersebut. Melansir katadata, Direktur Eksekutif INDEF Taufik Ahmad mengungkapkan pembangunan fasilitas dan infrastruktur publik di daerah bisa berasal dari berbagai sumber seperti penerbitan obligasi, hibah, badan usaha milik daerah (BUMD), hingga kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Akan tetapi, Taufik juga menyatakan skema KPBU jarang digunakan karena harus melibatkan investasi dari pihak swasta. Pada umumnya, skema KPBU digunakan untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan dan tol, di mana pihak swasta boleh menerima imbal hasil dari penanaman modalnya, berbeda dengan fasilitas sosial yang pengembalian atau return-nya tidak pasti.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menyatakan penggunaan APBD untuk membangun Masjid Raya Al Jabbar memang kurang tepat. APBD akan lebih tepat untuk membangun sarana publik yang bisa digunakan dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat karena sarana publik bisa digunakan semua kalangan.
“Ini tidak tepat, kalau dilihat prioritasnya memang sebaiknya APBD itu untuk sarana publik daripada bangun masjid. Saya bukan mau kontra pembangunan masjid, cuma ini masalah prioritas kebijakan,” kata Trubus, dilansir detikcom.
Dia menyayangkan APBD sebesar Rp1 triliun digunakan hanya untuk membangun masjid saja. Akan lebih baik bila uang sebesar itu digunakan untuk membangun jalan umum, dia menyoroti banyaknya akses jalan yang belum mumpuni ke berbagai daerah di Jawa Barat.
Selaras, Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menilai pembangunan masjid menggunakan APBD memang tidak dilarang. Namun, apa yang dilakukan Emil telah mencederai rasa keadilan publik.
Yusuf menjelaskan mekanisme pembangunan rumah ibadah dengan dana APBD umumnya menggunakan pos anggaran belanja hibah atau belanja bantuan sosial karena setiap daerah memiliki prioritas yang berbeda. Selain itu, politik anggaran pun bermain di mana kesepakatan antara eksekutif dan legislatif akan menentukan prioritas daerah yang diwujudkan dalam APBD.

Bangun Masjid Pakai APBD Diperbolehkan?
Penggunaan anggaran pemerintah daerah untuk membangun tempat ibadah sebetulnya sah-sah saja ketika sudah mendapatkan persetujuan dari DPRD lewat proses penganggaran yang dilakukan Badan Anggaran DPRD. Apabila dirasa kurang prioritas, yang juga patut dipertanyakan adalah mengapa anggaran itu bisa disetujui DPRD.
Peraturan tentang pembangunan rumah ibadah telah diatur di dalam Bab IV Peraturan Menteri Bersama, rinciannya ada di pasal 13 hingga 17 secara detail. Pada pasal 13 ayat 1 dijelaskan bahwa pendirian rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.
Hal tersebut juga diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Forum kerukunan umat beragama (FKUB) dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota oleh masyarakat, lalu difasilitasi oleh pemerintah daerah (pemda). Di dalam pasal 9 ayat 2 e Peraturan Bersama Menteri, FKUB bertugas memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah.
Semoga perdebatan ini segera selesai dan tidak ada hal serupa yang terjadi ke depannya. Peraturan juga diharapkan jangan abu-abu. Kudu tegas dan tepat. Kalau menurutmu, benarkah aksi dari seorang Ridwan Kamil di dunia maya?